Hari ini 75 tahun yang lalu, atau tepatnya pada 10 November 1945 para pemuda Surabaya berjuang melawan serangan pasca-kemerdekaan yang dilakukan sekutu di kota mereka. Meski Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, namun, itu bukan berarti bangsa ini sudah sepenuhnya bebas dari upaya bangsa lain yang masih ingin menguasai Nusantara. Berdasarkan paparan di laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Surabaya memang menjadi kota terjadinya pertempuran terbesar di masa setelah kemerdekaan. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Mengenang Pertempuran Surabaya, Cikal Bakal Peringatan Hari Pahlawan”.
Ketika itu, Jepang yang kalah Perang Dunia II menyerah kepada sekutu (Inggris dan Belanda), sehingga harus melepaskan Indonesia dari kekuasaannya. Sebelum meninggalkan Indonesia, Jepang dituntut untuk menyerahkan semua senjatanya. Akhirnya, pada 3 Oktober 1945 mereka menyerahkan senjata-senjata yang dimiliki kepada rakyat Indonesia yang nantinya bertanggung jawab untuk menyerahkannya kembali pada pihak sekutu.
Di akhir Oktober 1945, kapal perang milik sekutu bernama Eliza Thompson berlabuh di Surabaya. Pasukan yang ada di dalamnya datang dengan dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Pasukan sekutu itu bertugas melucuti senjata para serdadu Jepang, mengangkut tawanan perang, dan menjaga ketertiban di Surabaya. Akan tetapi, kenyataannya sekutu yang didominasi oleh pasukan Inggris ini tidak melakukan tugas dengan semestinya, mereka menyimpang.
Pada 27 Oktober 1945, tentara sekutu menyerbu penjara untuk membebaskan para perwira mereka yang ditahan Indonesia. Sekutu juga menduduki tempat-tempat vital di kota itu, seperti lapangan terbang, kantor pos, radio Surabaya, gedung internatio, pusat kereta api, pusat oto mobil dengan maksud menduduki Surabaya. Pasukan sekutu ini juga diduga membawa NICA (pemerintah sipil Belanda) dengan dua motor boat bermuatan Pasukan Serikat yang menembaki pos komando laut RI.
Hal lain, tanpa sepengetahuan Jenderal Mallaby, Angkatan Udara Inggris menjatuhkan selebaran di atas Surabaya yang berisi perintah pada rakyat Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan perang milik Jepang dalam waktu 48 jam. Jenderal Hawthorn, orang yang sebelumnya juga menjadi pimpinan pasukan, mengultimatum rakyat Surabaya. Jika tidak mematuhi perintah Inggris, maka akan mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya.
Sore hari pada 28 Oktober 1945, sekitar 140 ribu pasukan yang berasal dari prajurit TKR dan kelompok pemuda bersenjata bersatu di bawah komando dr. Mustopo untuk menyerang kamp Belanda dan sekutu. Masih di hari yang sama, di malam harinya melalui siaran radio, disebarkan semangat pada seluruh lapisan masyarakat agar bersatu dan merebut kembali tempat-tempat penting yang diduduki sekutu. Hal itu disampaikan oleh Bung Tomo, seorang tokoh yang memiliki gaya bicara berapi-api.
Dengan begitu, semangat revolusi pun terbentuk di benak masyarakat yang ada di sepenjuru kota. Melihat kondisi ini, pemimpin Nahdatul Ulama dan Masyumi pun mendukung dan menyatakan perang mempertahankan Tanah Air sebagai perang Sabil. Keesokan harinya, pada 29 Oktober 1945, para pemuda berhasil menguasai kembali obyek-obyek vital yang sebelumnya diduduki sekutu.
Buntutnya, para pimpinan sekutu yang terdiri dari Jenderal Mallaby, Kapten Smith, Kapten Shaw, dan Letnan Laughland ditahan oleh sekelompok pemuda. Mayor Venugopall pun melempar granat ke arah pemuda itu. Pertikaian hebat pun terjadi, di sana Mallaby terbunuh entah, terkena granat atau ditusuk pemuda menggunakan bambu runcing, ada beberapa versi berbeda yang beredar. Inggris pun mengecam keras peristiwa itu.
Mengetahui terjadi serangan dari warga Surabaya, Jenderal Hawntorn meminta Presiden Soekarno menyerukan penghentian terkait pertentangan antara pemuda Surabaya dan Sekutu. Itu dilakukan semata-mata demi melindungi pasukannya dari amukan masyarakat Surabaya. Permintaan itu dituruti, kontak senjata dihentikan, dibentuk komite penghubung, dan sekutu mau mengakui kedaularan. Namun, tak lama dari itu, sekutu ini justru melakukan penyerangan di kampung penduduk. Kontan hal itu menyulut pertikaian.
Kapten Shaw yang juga menjadi tawanan, mengancam akan membalas perlakuan yang diterima sekutu dengan mengerahkan seluruh kekuatan Inggris, baik darat, laut, dan udara. Mereka pun meminta masyarakat Surabaya menyerah jika tidak ingin dihancurleburkan. Demi mengantisipasi balasan yang dimaksud, rakyat Surabaya pun dilatih menggunakan senjata dan granat tangan. Pemuda-pemuda dan pasukan TKR mempersiapkan diri untuk terjadinya pertempuran. Rakyat pun memiliki semangat yang berapi-api untuk memberikan perlawanan. Inggris kembali mendatangkan pasukan setelah kematian Mallaby, akli ini dipimpin oleh Mayor Jenderal E.C. Mansergh.
Pada 8 November, mereka mengirimkan surat kepada Gubernur Soeryo. Surat itu berisi ancama serius sekutu untuk menggempur seluruh Surabaya. Soeryo pun membalas surat itu keesokan harinya, namun entah bagaimana surat itu tidak sampai ke tangan sekutu. Hal itu pun membuat pihak sekutu mengeluarkan ultimatum yang berisi perintah pada orang-orang Indonesia untuk meletakkan bendera Merah Putih di atas tanah dan para pemuda harus menghadap pada sekutu dengan angkat tangan atau menyerahkan diri. Baca juga: Ramai Tagar Indonesia Terserah, Apakah Tenaga Medis Menyerah? Pemuda juga harus bersedia menandatangani surat yang menyatakan menyerah tanpa syarat. Mansergh menginstruksikan agar seluruh perempuan dan anak-anak meninggalkan Surabaya sebelum pukul 19.00 WIB. Bagi pribumi yang masih nekat membawa senjata setelah pukul 06.00 WIB di tanggal 10 November 1945, diancam akan dijatuhi hukuman mati. Ultimatum keras itu mengusik perasaan rakyat Indonesia, karena dianggap menghina martabat dan harga diri bangsa yang sudah merdeka. Pemuda Surabaya bulat tekad untuk menolak ultimatum, hal itu disampaikan oleh Gubernur Soeryo melalui siaran radio di 9 November 1945 malam, pukul 23.00 WIB. Akibatnya, terjadilah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Sejak pagi hari, Inggris sudah melakukan penyerangan. Namun pemuda Surabaya sama sekali tidak gentar atas serangan yang dilakukan. Di balik keberanian pemuda Surabaya ini ada Bung Tomo dengan pidatonya yang bernada semangat dan berkobar untuk melawan penyerbuan sekutu. Hari itu, para pemuda bersemangat melakukan perlawanan di bawah pimpinan Komandan Pertahanan, Soengkono. Baca juga: Menengok Deretan Produk PT Pindad yang Mendunia… Mereka hanya bermodalkan bambu runcing dan belati dalam menyerang tank-tank baja milik sekutu. Bukan tanpa darah, dalam pertempuran ini 6.000 nyawa rakyat Surabaya gugur, dan sisanya diungsikan ke tempat yang dinilai aman. Meski banyak korban berjatuhan, namun dengan semangat mempertahankan kemerdekaan yang begitu tinggi, pemuda Surabaya berhasil mempertahankan kota mereka. Baca juga: Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, Bagaimana Prosedurnya? Oleh karena sejarah itu, untuk mengenang keberanian dan jasa para pemuda di Surabaya, Kota itu pun dijuluki sebagai Kota Pahlawan. Di kota itu, didirikan sebuah tugu dengan tinggi lebih dari 41 meter, yang diberi nama Tugu Pahlawan. Dan pada 10 November hingga hari ini juga diperingati sebagai Hari Pahlawan oleh bangsa Indonesia. Perlawanan rakyat Surabaya menjadi simbol perlawanan seluruh bangsa Indonesia terhadap upaya penjajahan kembali oleh bangsa lain. Penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional didasari Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Mengenang Pertempuran Surabaya, Cikal Bakal Peringatan Hari Pahlawan”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2020/11/10/090500665/mengenang-pertempuran-surabaya-cikal-bakal-peringatan-hari-pahlawan?page=all.
Penulis : Luthfia Ayu Azanella
Editor : Sari Hardiyanto